Senin, 07 Oktober 2013

ABBRAHAH DAN MAKKAH


                Abrahah murka mendengar laporan pemberatan di gerejanya. Ia bersumpah, bahwa ia akan pergi ke Baitullah untuk menghancurkannya. Ia perintahkan pasukan Habasyah bersiap-siap, kemudian ia berangkat ke makkah dengan mengendarai gajah. Ketika orang-orang arab mendengar rencana abrahah mengahancurkan Ka’bah rumah Allah yang suci, mereka menganggap rencana tersebu sangat berbahaya, dan berpendapat bahwa perang melawan Abrahah adalah wajib bagi mereka.
                Salah seorang dari tokoh Yaman dan pemimpinnya, Dzu Nafr menemui kaumnya kemudian mengajak mereka, dan orang-orang Arab yang merespon ajakan mereka untuk memerangi Abrahah dan berjuang melawannya demi mempertahankan Baitullah yang suci, serta mengagalkan rencana Abrahah untuk menghancurkannya. Ajakan Dzu Nafr disambut orang-orang yang sependapat dengannya, kemudian ia berseta pengikutnya bertempur melawan Abrahah, namun Dzu Nafr dan pengikutnya dapat dikalahkan dengan mudah oleh abrahah dan Dzu Nafr sendiri jatuh menjadi tawanan perang. Ketika Abrahah membunuhnya, Dzu Nafr berkat” Paduka raja, jangan bunuh aku, karena barang kali keberadaanku bersama itu lebih baik dari pada engkau membunuhku.” Abrahah membatalkan keinginanya membunuh Dzu nafr dan sebagai gantinya ia menahannya dalam keadaan terikat.
                Abrahah melajutkan perjalanannya untuk melanjutkan keinginannya tiba di daerah Khats’am, ia dihadang Nufail bin Habib Al-khats’am dengan dukungan dua kabilah yaitu Syahran dan Nahis, serta kabilh-kabilah Arab yang ikut bersamanya namun pasukan gabungan ini dapat dipukul mundur oleh Abrahah, dan Nufail jatuh menjadi tawanan perang. Ketika Nufail dihadapkan kepada abrahah dan ia berkeinginan membunuhnya, Nufail berkata kepadanya “ Paduka raja jangan bunuh aku, karena aku bisa menjadi penunjuk jalan bagimu ke negeri Arab. Inilah kedua tanganku mewakili Syahran dan Nahis menyatakan mendengar dan patuh kepadamu.” Abrahah membebaskan Nufail dan berjalan bersamanya sebagai penunjuk jalan baginya. Ketika Abrahah melewati Ta’if ia dihadang Mas’ud bin Mu’attib bin Malik Ka’ab bin Amr bin Auf bin Tsaqif dengan dukungan orang-orang Taqif.
                Ibnu Ishaq berkata,’ orang-orang tsaqif berkata kepada abrahah ‘Paduka raja, sesungguhnya kami adalah budka budak-budka  yang mendengar dan patuh kepadamu. Kami tidak mempunyai alasan untuk menentangmu. Rumah kami yaitu rumah Al-Lata bukanlah rumah yang engkau kehendaki, namun rumah ibadah yang enkau kehendaki adalah rumah ibadah di Makkah. Kami sertakan untukmu orang yang siap menunjukkan jalan kepadamu. Oleh karena itu, berilah ampunan kepada orang-orang Tsaqif.
                Ibnu Ishaq berkata,” Orang-orang tsaqif mengutus Abu Righal ikut bersama Abrahah dan bertugas sebagi penunjuk jalan. Abrahah meneruskan perjalannya dengan dipandu oleh abu Righal. Ketika ia tiba di Al-Mughammis, Abu Righal meninggal dunia disana, kemudian kuburannya dilempari batu oleh orang-orang Arab. Kuburan itulah yang sekaranng dilempari batu oleh orang Arab di Al-Mughamis.”
                Tiba di Al-Mughammis, Abrahah mengutus salah seorang Habasyah Al-Aswad bin Maqsud dengan pasukan berkudanya terus berjalan hingga tiba di Makkah. Kekeyaan Makkah milik orang-orang Quraisy dan selain orang-orang Quraisy diserahkan kepadanya, termaksuk dua ratus ekor unta milik Abdul Muthalib. Ketika itu, Abdul Muthalib adalah pemimpin dan tokoh orang-orang Quraisy. Karena kejadian tersebut, orang-orang Quraisy Kinanah, Hudzail dan semua pihak yang berada di tanah suci ingin memerangi Abrahah. Namun karena mereka mengetahui tidak sanggup menghdapinya, mereka mengurungkan maksud tersebut.[1]
                Abrahah mengutus Hanathah Al-Himyari pergi ke Makkah, dan berkata kepadanya,”Tanyakan siapa pemimpin dan tokoh negeri ini, kemudian katakan kepada pemimpin tersebut, bahwa sesungguhnya Raja (Abrahah) berkata kepadamu. ‘Sesungguhnya kami datang ke tempat kalian tidak dengan maksud memerangi kalian. Kami datang untuk menghancurkan rumah ini (Ka’bah). Jika kalian tidak menghalang-halangi kami dengan mengumumkan  perang melawan kami,  kami tidak butuh darah kalian. Sebaiknya, jika pemimpin tersebut bermaksud memerangku, maka bawa dia kapadaku.”
                Tiba di Makkah, Hanathah menanyakan siapa pemimpin orang-orang  Quraisy, kemuudian dikatakan kepadanya bahwa pemimpin orang-orang Quraisy adalah Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushai kemudian Hanathah menemui Abdul Muthalib dan menjelaskan kepadanya apa yang diperintahkan pada abrahah. Abdul Muthalib berkata kepada Hanathah,”Demi Allah, kami tidak ada maksud unuk memerangimu, karena kami tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Rumah ini (Ka’bah) adalah rumah Allah yang suci dan rumah kekasih-Nya, Ibrahim a.s. atau seperti yang dikatakan Abdul Muthalib. Jika Allah melindungnya, itu karena ka’bah adalah rumah-Nya dan rumah suci-Nya. Jika jika Allah tidak melindunginya demi Allah, kami tidak mempunyai kekuatan untuk melindunginya.’ Hanathah berkata kepada Abdul Muthalib,” mari ikut aku, karena aku diperintahkan pulang membawamu.”
                Kemudian Abdul Muthalib dengan dikawal sebagaian anak-anaknya pergi bersamaHanathah. Tiba di barak Abrahah, Abdul Muthalib menanyakan Dzu Nafr, karena ia sahabatnya, ketika berjumpa dengan Dzu Nafr di penahannya, Abdul Muthalib berkata kepada Dzu Nafr,”wahai Dzu Nafr apakah engkau mempunyai kekuatan untuk mengatasi musibah yang menimpa kita?” Dzu Nafr berkata” apalah artinya kekuatan tawanan Raja?” ia menunggu kapan di bunuh, pagi hari atau sore?  Aku tidak mempunyai kekuatan sedikitp pun untuk mengatasi musibah yang menimpamu. Namun Unais, pengendali  unta adalah sahabat karibku. Aku akan datang kepadanya kemudian aku perintahkan dia untuk berbuat baik padamu, menjelaskan kepadanya bahwa hakmu amat besar, dan memintanya mempertemukanmu denga Raja Abrahah, kemudian engkau berkata kepadanya apa saja yang engkau inginkan, serta membelamu dengan baik di sisinya, jika ia mampu melakukannya.” Abdul Muthalib berkata,” itu sudah cukup bagiku.” Kemudian Dzu Nafr menemui Unais, dan berkata kepadanya,” sesungguhnya Abdul Muthalib adalah peminpim orang-orang Quraisy, dan pemilik rombongan dagang Makkah. Ia memberi makan orang-orang di dataran rendah, dan bintang buas di puncak gunung. Sungguh, Raja Abrahah telah mengambil dua ratus ekor untanya. Oleh karena itu, mintalah izin untuknya agar ia bisa bertemu dengan Raja Abrahah, dan berilah pembelaan kepadanya sesuai dengan kemampuanmu!” Unais berkata,” itu akan aku jalankan.”
                Dari Ibnu Ishaq berkata Abdul Muthalib adalah orang yang paling tampan, dan paling angung. Ketika abdul muthalib bertemu dengan Abrahah, bersama Hanthah , Abdul Muthalib ditemani oleh Ya’mur bin Nufatsah, dan Khuawilid bin Watsilah Al-Hudzali pemimpin Hudzai, Albrahah melihatnya ia memuliakannya, mengangungkannya dan mengormatinya dengan tidak menyuruh duduk di bawahnya.Abrahah tidak suka dilihat orang-orang Habasyah mendudukan orang lain di atas singgasananya. Oleh karena itu, ia turun dari singgasananya, kemudian duduk di atas permadani nya dan mendudukan Abdul Muthalib di sebelahnya. Abrahah berkata kepada Penerjemah,” katakan kepadanya ‘apa keperluanmu” Penerjemah Abrahah menjelaskan  ucapan Abrahah kepada Abdul Muthalib, kemudian berkata,’keperluanku ialah hendaknya Raja Abrahah mengembalikan dua ratus unta yang dirampasnya dari diriku.” Usai  penerjemah Abrahah menjelaskan kepeluan Abdul Muthalib kepada abrahah, abrahah berkata kepada penerjemahnya,” katakan kepadany,’ sesungguhnya aku kagum kepadamu ketika aku melihatmu, kemudian aku tidak mau berbicara benyak kepadamu ketika engkau berkata kepadamu. Apakah engkau membicarakan dua ratus ekor unta yang aku rampas darimu dan engkau meninggalkan rumah yang tiada lain adalah agamamu dan nenek monyangmu, padahal aku datang untuk mengahancurkannya dan engkau sedikit pun tidak menyinggungnya?” Abdul Muthalib berkata kepada Abrahah,” ia tidak layak menghalang-halangiku,” Abrahah berkata ,”itu terserah antara engkau denganNya.”
                Usai ketiganya bertemu dengan Abrahah, Abdul Muthalib menemui orang-orang QuraIsy dan menjelaskan permasalahan yang sesungguhanya. Ia perintahkan mereka keluar dari Makkah, dan berlindung diri di puncak gunung dan Syi’b (jalan di antara dua gunung) karena khawatir mengaparkan gangguan dari pasukan Abrahah. Setelah itu, Abdul Muthalb mengabil rantai pintu Ka’bah dan berdoa dengan beberapa orang Quraisy kepada Allah dari meminta pertolongan-Nya atas abrahah dan pasukannya.
                Esok harinya, Abrahah bersiap-siap untuk memsuki Makkah. Ia menyiapkan gajah-gajahnya, dan memoblisir pasukanya. Gajah Abrahah bernama Mahmu. Ia membuulatkan tekatnya untuk menghancurkan Ka’bah kemudian pulang ke Yaman. Ketika Abrahah dan pasukannya telah mengarahkan gajahnya masing-masing ke Makkah, tiba-tiba Nufail bin Habib Al-Khats’ami tiba, kemudian berdiri di samping gajah Abrahah, Mahmud dan membisik kepadanya,” duduklah wahai Mahmud, atau pulanglah dengan damai ke tempatmu semula, kaena sesungguhanya engkau sekarang berada di tanah haram!” Nufail bin Habib melepaskan telinga gajah Mahmud dan gajah itu pun duduk. Setelah itu, Nufail bin Habib pergi dan naik ke gunung. Pasukan Abrahah memukuk gajah Mahmud agar berdiri. Mereka denga mencucuk lambungnya agar berdiri, namun ia tetap menolak berdiri. Mereka memasukan Mihjan (tongkat yang berkeluk kepalanya) ke bawah perutnya dan mengiris perutnya denganya agar berdiri, namunn gajah mahmud tetap menolak berdiri. Mereka menghadapkan gajah Mahmud ke arah Yaman, ternyata ia langsung berdiri dan berlari. Mereka menghadapkan lagi gajah mahmud ke arah Syam, ternyata berdiri lagi dan berlari. Mereka mengadapkan  gajah mahmud ke arah Timur, ia pun berdiri dan berlari seperti sebelumnya. Mereka menghadapkannya ke Makkah, namun ia menolak berdiri.[2]
                Kemudian Allah SWT mengirim unutk abrahah dan pasukannya burung-burung sepaerti burung layang-layang dan burung balsan (sejenis burung tiung) dari arah laut. Setiap burung tersebut membawatiga batu satu di paruh nya, dan dua batu di kakinya. Batu-batu tersebut mirip kacang dan adas. Jika batu tersebut menbenai salah seorang dari pasukan Abrahah, ia pasti tewas, namun tidak semuanya dari mereka terkena batu tersebut. Mereka lari kocar-kacir, berebutan mencari jalan yang telah di laluinya dan mencari Nufail agar ia menunjukan jalan ke Yaman.
                Pasukan abrahah  jatuh beguguran di setiap jalan dan tewas di setiap tempat dan rumah di padang Sahara. Abrahah sendiri mendapatkan luka di badannya, kemudian ia digotong anak buahnya, namun tubuhnya berjatuhan satu demi satu. Setiap kali anggota tubuhnya berjatuhan, pasti di susul dengan nanah dan darah. Itulah yang terjadi pada Abrahah hingga mereka tiba di Shan’a dengan membawa Abrahah yang berupa seperti anak burung. Ketika Abrahah meninggal dunia, dadanya terpisah dari hatinya menurut sebagian besar orang.”


[1] Abu Muhammad, sirah nabawiyah, Jakarta : PT Darul Falah, 2009 hal 36-37

[2] Abu Muhammad, sirah nabawiyah, Jakarta : PT Darul Falah, 2009 hal 40-41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar