Senin, 07 Oktober 2013

Karakteristik Da'i dan Mad'u (Psikologi Dakwah)-makalah



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pentingnya mempelajari sejarah dakwah ini bagi para da’I, karena sebagai suatu pedoman, pegangan tamsil, dan tolak ukur agar para da’I bisa mencapai suatu keberhasilan dan menyebar luaskan dan meningkatkan mutu islam itu sendiri.
Suatu pesan yang disampaikan, yang mana mendapat respon yang baik dari para mad’u tersebut bila mana seorang da’I mengetahui, memahami dunia dakwah tersebut baik meliputi sosiologi dakwah, psikologu dakwah dan sejarah keda’waan.
Berbagai rintangan, hambatan dalam menyampaikan dakwah ini tidak sedikit dari anbiya’. Merasakannya. Seperti halnya nabi Muhammad SAW, begitu halnya masa setelah beliau yakni masa Khulafa’ur rosyidin, bani umayah, mereka tetap melaksanakan dakwah tersebut (menyampaikan Islam keseluruh dunia) dan akhirnya mereka pun berhasil dan pada pembahasan ini, masa setelah bani umayah yakni bani abbasiah, kami berusaha untuk mengmbil tamsil dari perjuangan mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan pemerintahan dinasti bani Abbasiah?
2. Kehidupan Dakwah Pada Masa Dinasti Abbasiyah?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk Keadaan Pemerintahan Bani Abbas
Awal masa kekuasaan dinasti bani Abbas diawali dengan pembangkangan yang dilakukan oleh dinasti umayah di Andalusia. Di satu sisi abdur Rohman al-daklil bergelar Amir (jabatan kepala wilayah ketika itu) sedang di sisi lain, ia tidak tunduk pada Kholifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abdur Rohman al-daklil terhadap bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh mua’wiyah terhadap Ali bin Abi Tholib.[1]
Dari segi durasi, kekuasaan dinasti Bani Abbas termasuk lama, yaitui sekitar lima abad (133- 656 H/ 750- 1258 M), dan masa pemerintahan bani Abbas di bagi menjadi beberapa fase, menurut Ira M. Lapidus, menyederhanakan fase dinasti bani abbas menjadi Dua:
Pertama, masa Awal dinasti bani Abbas (750-833 M)
Kedua, masa kemundurannya (833- 945 M).
Adapun Badri Yatim membagi fase dinasti bani Abbas menjadi lima periode:
ü  Periode pertama atau pengaruh Persia pertama (750- 847 M).
ü  Periode kedua atau periode pengaruh turki pertama (750- 847 M).
ü Periode ketiga atau periode pengaruh Persia kedua yang ditandai dengan penguasaan Baghdad oleh dinasti Buwaihi (945-1055 M).
ü Periode keempat atau periode pengaruh turki kedua ditandau dengan penguasaan Baghdad oleh Dinasti Saljuk.
ü Periode kelima.[2]
Kali pertama pendiri dinasti Abbas adalah abu al-Abbas Al safah (750- 754 M). akan tetapi, karena kekuasaannya sangat singkat maka Abu Ja’far al Mansur menggantikannya (754- 775 M) dan banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti Abbas. Pada tahun 762 M, Abu ja’far al- Mansur memindahkan ibu kota dari damaskus ke hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan etesiphon bekas ibu kota Persia. Oleh karena itu, ibu kota pemerintahan dinasti bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia[3].
Sistem pemerintahan baru yang di ciptakan oleh abu ja’far al- Mansur adalah pengangkatan wazir sebagai coordinator departemen. Wazir pertama adalah Kholid bin Barmak yang berasal dari Persia. Al-Mansur juga membentuk lembaga protocol negara, sekretaris negara, kepolisian negara disamping angkatan bersenjata, dan lembaga kehakiman negara.
Dari sini dapat didimpulkan, pendiri dinasti bani Abbas adalah Abu al-Abbas al-safah dan Abu Ja’far al-Mansur, sedangkan masa kejayaan dinasti ini berada pada fase delalapan Kholifat berikutnya, al-Mahdi (775- 785 M), al-Hadi (775+ 786 M), Harun ar-Rosyid (786- 809 M), al-Amin 809- 813 M), al-Makmun (813- 833 M), al-Multasim (833- 842 M), al-watsid (842- 847 M), al-Mitawakkil (847- 861 M).
Kemunduran dinasti bani Abbas ditandai dengan adanya pertikaian internal dinasti bani Abbas sebelum meninggal, Harun al-Rosyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi kholifah ya’ni al-Amin dan al-MAkmin. Al-Amin diberi hadiah berupa wilayah bagian barat, sedangkan al-Makmun diberi hadiah beripa wilayah bagaian timur, setelah Harun ar-Rosyid wafat (809 M), al-Amin putra mahkota tertua, tidak bersedia membagi wilayahnya dengan al-Makmun. Oleh karena itu pertempuran dua bersaudara terjadi yang akhirnya dimenagkan oleh al-Makmun. Setelah perang usai al-ma’min berusaha menyatukan kembali wilayah dinasti bani Abbas. Untuk keperluan itu, ia didukung oleh Tahir panglima militer, dan saudaranya sendiri yaitu Mu’tyasim.
Faktor lain kemunduran dinasti Abbas itu sendiri adalah adanya faham mu’tazilah yang dijadikan sebagai madzhab resmi pada masa pemerintahan al-Ma’mun. Dijelaskan bahwa faham mu’tazilah dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para pemuka Agama dan hakim adalah ajaran tentang kemakhlikan al-Qur’an. Dan munculnya juga aliran Ahl al-Sinnah yang mana dipelopori oleh Abu al-hasan ali bin Ismail Al-Asy’ari, beliau adalah murid al-Juba’I (Mu’tazilah). Perdebatan antara al-Juba’I dengan al-Asy’ari membuat murid mengubah sikap, yaitu menyatakan diri keluar dari mu’tazilah.
Dari segi ketundukan kepada kholifah, dinasti-dinasti kecil dapat dibedakan menjadi dua dinasti yang mengakui kholifah Abbasiah, dan dinasti yang tidakj mengakui kholifah tersebut. Sedangkan dari segi letak geografis, dinasti-dinasti kecil dapat dibedakan menjadi dua, dinasti –dinasti kecil di timur Baghdad, thahiri, safari, dan samani. Dan dinasti-dinasti kecil di barat Baghdad, Idrisi, Aglaby, Thulub, Hamdani, dan Ikhsidi. Akan tetapi, terdapat dua dnasti kecil yang secara langsung mengusai beghdad, Buwaihi, dan Saljuk.
B. KEHIDUPAN DAKWAH PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
Sejarah perjuangan umat Islam dalam pentas peradaban dunia berlangsung sangat lama sekitar 13 abad sejak masa kepemimpinan Rasulullah Saw di Madinah (622-632 M); masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M); masa Daulat Umayah (661-750M) dan masa Daulat Abbasiyah (750-1258 M) sampai tumbangnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1342 H/1924 M, dimana masa-masa kejayaan dan puncak keemasannya melahirkan banyak ilmuwan muslim berkaliber internasional yang telah menorehkan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat manusia yang terjadi selama kurang lebih 700 tahun, dimulai dari abad 6 M sampai dengan abad 12 M. Pada masa tersebut, kendali peradaban dunia berada pada tangan umat Islam.
Di zaman Umayah usaha yang dilakukan adalah memperluas wilayah kekuasaan (dakwah) yang meliputi wilayah Asia Kecil, Romawi, kawasan Afrika Utara dan Andalusia, kawasan Timur Laut yaitu negeri-negeri yang terletak diantara dua sungai Jihun dan Sihun, sampai daerah Sind di kawasan tenggara. Perluasan wilayah dakwah disektor ini mengalami kemunduran seiring dengan melemahnya kekhalifaan Umayah diakhir masa kekuasaannya dan dilanjutkan oleh daulat Abbasiyah[3].
Usaha perluasan wilayah dakwah memang sudah dirintis dan dimulai semenjak masa Nabi dan dilanjutkan oleh para khulafa rasyidin. Umat Islam menyebut usaha perluasan wilayah dakwah ini sebagai al-fath (al-futuh) yang berarti pembebasan, karena dalam aktifitas perluasan wilayah itu terdapat misi Islam untuk membebaskan manusia dari segala belenggu dan tirani perbudakan terhadap manusia, kecuali belenggu penghambaan kepada Yang Maha Tinggi.
Masa kekuasaan daulat Abbasiyah yang berlangsung lebih dari lima abad (750-1258 M) dinilai sebagai kekhalifaan Islam yang mencapai tingkat tamaddun yang menakjubkan dimana dakwah Islam di masa ini dapat mengembangkan ajarannya secara lebih luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.[4]
Dinati bani Abbas atau khilafah Abbasiyah merupakan kekhalifaan Islam yang “mewarsi” kekuasaan kekhalifaan Umayah. Dinasti ini di dirikan oleh Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Abbas. Dalam rentang waktu masa kekuasaannya, pola pemerintahan yang diterapkan selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perubahan sosial, politik, dan budaya.[5] Perubahan-perubahan politik, sosial dan budaya dalam masa lima ratus tahun lebih tersebut membagi daulah Abbasiyah dalam lima periode; Periode I 132 H/750 M – 232 H/847, periode II 232 H/847 M 334 M 945 M, periode III 334 H/945 M – 447 M/1055 M, periode IV 447 H/1055 M – 590 H/1194 M, periode V tahun 590 H/1194 M – 656 H/1258 M.
Pada masa Abbasiyah I usaha perluasan wilayah kekuasaan tidak banyak dilakukan karena difokuskan untuk melakukan pembinaan dan penataan terhadap wilayah-wilayah yang telah dikuasai, terutama pembinaan dalam sektor politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Mesir yang telah menjadi salah satu wilayah kekuasaan dan aktifitas dakwah Islam semenjak zaman Khulafaurrasyidin, dikembangkan menjadi basis dakwah untuk wilayah bekas jajahan kerajaan Romawi Timur di sekitar Laut Tengah.[6]
Pada masa ini kota Baghdad, Basrah dan Kuffah merupakan pusat-pusat kegiatan dakwah dalam arti yang luas. Penguasa kekhalifaan Abbasiyah I adalah para pecinta ilmu dan sangat memuliakan ulama-ulama serta para pujangga. Para putera khalifah diberikan pendidikan khusus oleh ulama dan pujangga dengan harapan mendapat pengetahuan keagamaan yang luas dan kelak akan menjadi ulama dan pujangga.[7]
Kebebasan berfikir merupakan ciri khas dari periode ini, dan para khalifah sengaja membiarkan hal ini tetap terjadi. Perbedaan berfikir ini nampak pada beberapa petinggi kekhalifaan yang berbeda aliran, seperti Khalifah al-Makmun yang beraliran syai’ah, sedangkan Perdana Menteri Yahyan bin Aksam beraliran sunnah dan seorang menteri bernama Ahmad bin Abu Daud beraliran Muktazilah. Demikian berkembangnya kemerdekaan berfikir di zaman itu sehingga seseorang tidak boleh dipaksa menganut satu aliran tertentu.[8] Pada masa ini juga dilakukan pengembangan dakwah kedaerah-daerah India yang beragama Hindu yang pernah dilakukan pada masa sebelumnya.
Pada masa khalifah Mansur, Hisyam bin Amru diangkat menjadi gubernur di Sind dengan tugas melanjutkan pengembangan dakwah ke daerah-daerah lain, sehingga pada masa ini wilayah dakwah Islam telah sampai di Kasymir. Sementara pada masa al-Mahdi (158-169 H/775-785 M) angakatan dakwah dan angakatan perang Islam melakukan kampanye besar ke daerah-daerah India lainnya. Dakwah Islam terus meluas ke India pada masa al-Makmun, sementara pada masa al-Muktasim, dakwa Islam terus berkembang di negeri-negeri yang terletak antara Kabul, Kasymir, dan Miltan.[9]
Masa Abbasiyah II di mulai dengan kepemimpinan khalifah Mutawakil tahun 232 H (847 M) dan berakhir dengan khalifah Muthi tahun 334 H (946 M). Periode ini ditandai dengan kuatnya pengaruh keturunan Turki dalam urusan-urusan kenegaraan.[10] Kuatnya pengaruh dan tekanan keturunan Turki dalam kekhalifaan mengakibatkan terjadinya kelemahan secara politik sehigga kedudukan khalifah dianggap tidak memiliki arti penting. Meskipun mengalami kelemahan dalam kekuasaan politik, dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan terutama ilmu pengetahuan, terus mengalami kemajuan-kemajuan yang mengagumkan dan menampilkan corak yang baru.
Pembinaan ilmu yang dirintis sejak zaman khulafaurasyidin dan di lanjutkan oleh masa Umayah kembali mendapat perhatian yang serius sehingga semua cabang ilmu pengetahuan berkembang secara pesat, diantaranya; Ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadis, ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu nahwu, ilmu lughah, ilmu bayan, ilmu adab, ilmu falsafah, ilmu kedokteran, ilmu kimia dan ilmu-ilmu lainnya.[11]
Pada periode Abbasiyah III, kekuasaan politik tidak mengalami kemajuan yang berarti, bahkan terus mengalami kemunduran, tetapi dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan terus berkembag bahkan melebihi zaman sebelumnya. Zaman ini memiliki beberapa prestasi diantaranya; matangnya ilmu pengetahuan yang ditandai oleh adanya kitab-kitab kamus, adanya gaya baru dalam aktifitas mengarang, matangnya filsafat, dibinanya prinsip-prinsip berbagai ilmu, lahirnya risalah Ikhwanus Safah, lahirnya Mausu’at semacam ensiklopedia atau dairatul ma’rifat, tumbuhnya aneka ragam ilmu lebih dari 300 macam, adanya ilmu pendidikan rumah tangga, lahirnya kitab-kitab ilmu politik, lahirnya ilmu politik ekonomi dan ilmu sosiologi.[12]
Masa Abbasiyah IV dimulai dengan masuknya kekuatan bersenjata Saljuk ke Bagdad pada tahun 447 H (1075 M) dan berakhir dengan masuknya Baghdad dalam kekuasan Mogul pada tahun 656 H (1261 M). Periode ini ditandai dengan perkembangan serta pembaruan sistem pendidikan sehingga terbentuklah madrasah Nidhamul Muluk dan Nidhamiyah di Baghdad. Di periode pula lahir sejumlah pujangga dan pengarang besar seperti Ibnu Qaladis, Kamaludin Ibnu Nabih, Jamaludin Ibnu Mathur, Abu Mansur al-Jawaliqy, serta sejumlah ilmuan dan pujangga lainnya.[13]
Sedangkan pada masa Abbasiyah V yang dimulai sejak 590-656 H/194-1258 M, kekhalfiaan Abbasiyah telah terlepas dari berbagai pengaruh dinasti-dinasti Islam yang lain (dinasti-diasti kecil yang akhirnya memisahkan diri dari pusat pemerintahan di Baghdad), namun kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad, dan praktis megalami kemunduran yang cukup drastis sebelum akhirnya di invasi oleh pasukan tentara Mogol.
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti yang berdiri di atas pedoman dasar yaitu agama Islam, selama masa pemerintahan dinasti Abbasiyah merupakan sarana dan pendukung dakwah Islam, dengan berlandaskan dakwah Islam dinasti Abbasiyah menjadi kerajaan Islam yang dapat mengubah dunia dengan cahaya Islam, dakwah pada masa dinasti Abbasiyah secara terperinci dapat dipahami sebagai berikut:[14]
1.      Lingkup negara dan penguasa
khalifah Abbasiyah Para pada masa keemasan merupakan ulama yang mencintai ilmu pengetahuan, sehingga mayoritas mereka menghormati para ulama dan pujangga, dan keturunan dari para penguasa mendapatkan pendidikan khusus dari para ulama dan pujangga tersebut, kemudian memfasilitasi upaya penerjemahan berbagai ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, kemudian melakukan perluasan dan pembinaan wilayah dakwah, dakwah Islam mulai redup dalam lingkup penguasa setelah dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran.
Para pemimpin dinasti Abbasiyah pada masa keemasan dominan memandang dunia adalah sarana yang mengantarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan akhirat, mereka juga percaya bahwa seluruh materi tidak dapat dipisahkan dari rohani.[15] Para khalifah dinasti Abbasiyah periode keemasan telah berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan pengetahuan serta filsafat di dalam agama Islam, hingga masa setelah kemunduran dinasti Abbasiyah ilmu pengetahuan dan filsafat tetap berkembang hingga sekarang.
2.      Lingkup masyarakat
Aktivitas dakwah dalam lingkup masyarakat tidak terpengaruh oleh kelemahan dan kerusakan yang terjadi di dalam lingkup negara dan penguasa, karena aktivitas dakwah dan ilmiah sangat marak dilakukan di Baghdad, karena masjid dan sekolah dipenuhi dengan kajian ilmiah dengan materi yang bervariasi, hal ini didukung dengan keberadaan ulama yang berperan besar pada masa tersebut.[16]
Para ulama berperan dalam hal pencerahan iman masyarakat pada masa tersebut, dan materi yang paling menonjol pada saat tersebut adalah tazkiyah al-nufûs (pembersihan hati), peringatan tentang negeri akhirat, serta ajakan agar tidak terpengaruh oleh kehidupan dunia, materi-materi ini muncul sebagai bentuk reaksi dari aksi kemewahan dan kemaksiatan yang terjadi pada lingkup negara dan penguasa.
            Dapat disimpulkan bahwa kehidupan dakwah pada masa dinasti Abbasiyah dalam lingkup penguasa berada pada masa keemasan, hal ini disebabkan para khalifah selain pemimpin juga seorang ulama, dan dalam lingkup masyarakat dakwah Islam berkembang pesat didukung peranan ulama yang banyak hidup dan dihormati oleh masyarakat dan pemimpin.






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerintah dinasti Abbasiyah kali pertama dipimpin oleh Abu Abbas al-Safah. Yang mana bani Abbas ini berlangsung selama kurang lebih tiga setengah abad. Dalam kurun waktu yang bnbegitu lama maka pemerintahan ini dibagi menjadi lima fase.
Dalam suatu pemerintahan adakalanya mencapai masa pendirian, masa kemajuan dan masa kemunduran, begitu halnya dengan pemerintahan bani Abbas sendiri, yang mana pendiri dinasti bani Abbas yaitu Abu Abbas al-Salaf dan Abu Ja’far al-Mansur. Kemudian masa kemajuan atau keemasan terjadi pada fase kedelapan kholifah berikutnya yaitu Al-Mahdi, Harun ar-Rosyid, dan sampai pada al-mutawakkil. Masa kemunduran juga manimpa dinasti Abbas sendiri. Beberapa faktor penyebabnya antara lain, adanya faham mu’tazilah yang dijadikan sebagai madzhab resmi negara. Dan munculnya dinasti-dinasti kecil yang tidak mengakui pemerintahan ini.
Kemajuan yang dicapai bani Abbasiah pun beragam, terlebih dalam urusan Ilmu pengetahuan, ilmu Agama pun ikut berkembang pesat.
Munculnya ilmu kalam mu’tazilah, juga munculnya para ulama’ besar dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti halnya Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i mereka adalah ahli dalam bidang hadits dan fiqih, katya tulis mereka pun banyak dipelajari oleh para pelajar, seperti Al-Mutawattho’ karya tulis Imam MAlik, juga karya tulis yang di hasilkan oleh Imam Syafi’I, yaitu kitab Al-Umm dalam bidang fiqh.
Selain ulama’ besar di atas juga terdapat para ulama’ yang lain seperti Zakaruyah al-Rozi seorang ahli kedokteran klinis dan penerus Ibn Hayyan dalam pengembangan ilmi kimia. Al-Farabi atau yang lebih dikenal dengan Alpharabius seorang filosof dalam ilmu logika, matematika dan pengobatan. Dan juga Ibnu Sina atau Aucenna yang ahli dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat.
Oleh karena itu, kejayaan Islam pada masa Bani Abbasiah bisa dijadikan potret masa depan Islam di masa mendatang. Dan untuk mencapai dan memiliki kejayaan dan kemajuan islam kembali.
B. kritik dan Saran
Ungkapan terima kasih kepada pembaca dan pendengar makalah ini , dan partisipasi dari kalian sangat pemakalah harapkan, Karen makalah ini masih dari yang namanya sempurna. Dan terutama bagi bapak Moh. Rofiq selaku pengampuh materi kuliyah sejarah dakwah beribu terima kasih dan maaf. Karena apa jadinya kami kalau tanpa bimbingannya, dan untuk kesabarannya dalam mendidik kami.
DAFTAR PSTAKA
1.      Jalil Mubarok, Sejarah Peradaban Islam. (Bandung : CV. Pustaka Islamiya 2008)
2.      Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II (Jakarta : PT.  Raja Grafindo Persada, 1997)
3.      Wahyu Ilahi dan Harjani HefniPengantar Sejarah Dakwah,
4.      A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang)
5.      Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006)
6.      Hasan Ibrahim Hasan, Tarikhul Islam As Siyasy, Jilid II.
7.      Jarji Zaidan, Tarikhu Adabil Lughah Al Arabiyah, Jilid III.
8.      Yusuf al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Peradaban Islam, pent. Cecep Taufiqurrahman, dari judul asli, Târikhuna al-Muftara ‘Alaih, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005).
9.      Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007).



[1] Jalil Mubarok, Sejarah Peradaban Islam. (Bandung : CV. Pustaka Islamiya 2008) h. 143
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II (Jakarta : PT.  Raja Grafindo Persada, 1997)hlm. 49-50.
[3] Wahyu Ilahi dan Harjani HefniPengantar Sejarah Dakwah, h. 109-111
[4] A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang) h. 350
[5] Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 49
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikhul Islam As Siyasy, Jilid II, h.169
[7] A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang) h. 352
[8] Jarji Zaidan, Tarikhu Adabil Lughah Al Arabiyah, Jilid III, h. 20
[9] A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang) h. 355
[10] Jarji Zaidan, Tarikhu Adabil Lughah Al Arabiyah, Jilid III, h. 20
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikhul Islam As Siyasy, Jilid III, h. 330
[12] Jarji Zaidan, Tarikhu Adabil Lughah Al Arabiyah, Jilid III, h. 8-10
[13] A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 366
[14] Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007)  h. 120.
[15] Yusuf al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Peradaban Islam, pent. Cecep Taufiqurrahman, dari judul asli, Târikhuna al-Muftara ‘Alaih, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005)  h. 121.
[16] Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, h. 121.

RASULULLAH SAW DALAM ASUHAN HALIMAH AS-SA’DIYAH


A.    Penyusuan Rasulullah SAW, Wanita Yang Menyusui Beliau, dan Suaminya
                Ibnu Ishaq berkata, “Rasulullah SAW disusui wanita dari Sa’ad bin Bakr yang bernama Halimah binti Abu Dzuaib. Abu Dzuaib adalah Abdullah bin Al-Harts bin Synijnah bin Jabir bin Rizam bin Nashirah bin Fushaiyyah bin Nashr bin Sa’ad bin Bakr bin Hawzin bin Mansur bin Ikrimah bin Khashafah bin Qais bin Ailan. Nama ayah susuan Rasulullah SAWadalah Al-Harts bin Abdul Uzza bin Rifa’ah bin Mallan bin Nashirah bin Fushaiyyah bin Nashr bin Sa’ad bin Bakr bin Hawzzin[1].
                Ibnu Hisyam berkata, “Ada yang mengatakan Hilal adalah anak Nashirah.”


B.    Saudara-saudara Sesusuan Rasulullah SAW

                Ibnu Ishaq berkata, “ Saudara-saudara sesusuan Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Al-Harts, Unaisah binti Al-Harts, Khidzamah binti Al-Harts yang tak lain adalah Asy-syaimah’. Khidzamah tidak dikenal di kaumnya kecuali dengan nama Asy-Syaima’. Ibu mereka adalah Halimah binti Abu Dzuaib Abdullah bin Al-Harts, ibunda Rasulullah SAW. Ada yang mengatakan, Asy-Syaima’ ikut mengasuh Rasulullah SAW bersama ibunya ketika beliau tinggal bersama mereka.

C.    Halimah As-Sa’diyyah bercerita bagaimana dia mengambil Rasulullah SAW.

                Ibnu Ishaq berkata bahwa Jahm, mantan budak Al-Harts bin Hathib Al-Jumahi berkata kepadaku dari Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib dari seseorang yang berkata kepadanya, Halimah bin Abu Dzuaib As-Sa’diyyah, ibunda Rasulullah SAW yang menyusui beliau berkisah, ia bersama suaminya meninggalkan negerinya dengan membawa seorang anak kecil yang sedang disusuinya bersama rombongan wanita-wanita Bani Sa’ad bin Bakr guna mencari anak-anak untuk disusuinya.
                Halimah As-Sa’diyyah berkata, “Tahun tersebut adalah tahun kering dan tidak ada sedikit pun tersisa untuk kami. Kemudian kami berangkat dengan mengendarai keledaiku yan berwarna putih dan unta tua yang tidak menghasilkan susu setetes pun. Kami semua tidak bisa tidur pada malam hari karena anak-anak kecil yang ikut bersama kami menangis karena lapar, air susu tidak mengenyangkannya, dan unta tua kami tidak mempunyai susu yang mengenyangkannya. Namun kami tetap mengharap mendapat pertolongan dan jalan keluar. Aku berangkat dengan mengendari keledai. Sungguh aku lama sekali dalam perjalanan hingga semaki menambah kelaparan dan kelelahan mereka. Itulash ysng terjasdi hingga kami tiba di Mekkah kemudian mencari anak-anak yang bisa kami susui. Setiap wanita dari kami pernah ditawari menyusui Rasulullah SAW, namun semua menolak sebab diberitahu bahwa beliau adalah anak yatim, sedang kami mengharap imbalan yang banyak dari ayah si anak. Semua dari kami berkata, “Anak yatim? “ Apa yang bisa dikerjakan ibunya dan kakeknya?
Kami tidak mau mengambilnya karena sebab tersebut. Setiap wanita telah mendapat anak susuan kecuali aku. Ketika kami sepakat untuk pilang, aku berkata kepada suamiku, “Demi Allah, aku tidak sudi pulang bersama teman-temanku tanpa membawa anak yang bisa aku susui. Demi Allah, aku akan pergi kepada anak yatim tersebut dan mengambilnya. Suami ku berkata, “engkau tidak salah kalau mau melakukannya, mudah-mudahan Allah memberi keberkahan kepada kita dengan anak yatim tersebut[2].
                Kemudian aku pergi kepada anak yatim tersebut untuk mengambilnya. Demi Allah, aku mengambilnya karena tidak mendapat anak lain. Setelah mengambilnya, aku kembali ketempat istirahatku, ketika aku meletakkan diatas pangkuanku dan memberikan kedua susu ku kepadanya, ia menetek hingga kenyang. Saudaranya juga menetek hingga kenyang. Usai keduanya menetek, keduanya tidur, padahal sebelumnya kami tidak bisa tidur. Sedang suamiku, ia pergi ke unta tua milik kami, ternyata air susu unta tua tersebut penuh. Kami pun memerahnya, meminumnya dan aku meminumnya hingga kenyang.. kami menghabiskan malam dengan indah. Esoknya, sahabat-sahabtku berkatakepadaku “Demi Allah, ketahulah wahai Halimah, sungguh engkau telah m,endapatkan anak yang penuh berkah”. Aku berkata “Demi Allah, aku juga berharap demikian”. Kemudian kami pulang dengan mengendarai keledaiku dan membawa Muhammad. Demi Allah, aku mampu meninggalkan rombonganku dan tidak satupun keledai mereka sanggup menyusulku, hingga wanita-wanita tersebut berkata kepadaku “Hai putri Abu Dzuaib, celakalah engkau, berjalanlah pelan-pelan, bukankah keledai ini yang engkau bawa dari negerimu?
Aku katakan kepada wanita-wanita tersebut “Ya betul, demi Allah keledai inilah yang aku bawa dari negeriku.” Mereka berkata, “Demi Allah, keledai ini terasa beda dengan keledai-keledai yang lain.”
                Kemudian kami tiba di negeri kami, Bani Sa’ad. Saya tidak mengetahui bumi Allah yang lebih kering dari negeri Bani Sa’ad. Ketika aku tiba di negeriku membawa Muhammad, kambingku datang kepadaku dalam keadaan kenyang dan susunya penuh. Kemudian kami memerahnya dan meminumnya, dan pada saat yang sama orang lain tidak dapat memerah susu setetespun dari kambing mereka. “Celakalah kalian, gembalakan kambing-kambing kalian ketempat pengembalaan kambing putri Abu Dzuaib mengembalakan kambingnya.”
Pada sore hari, kambing-kambing mereka pulang dalam keadaan lapar dan tidak mengeluarkan susu setetes pun, sedang kambingku  pulang dalam keadaan kenyang dan air susunya yang banyak. Kami terus mendapatkan nikmat dan kebaikan dari Allah hingga berjalan dua tahun. Ketika Muhammad berusia dua tahun, aku menyapihnya. Ia tumbuh menjadi anak muda yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Usianya belum genap dua tahun tapi dia telah menjadi anak yang tegap.

D.    Halimah As-Sa’diyyah kembali ke Makkah

                Halimah As-Sa’diyyah berkata, “Kemudian kami membawa Muhammad kepada ibunya, padahal kami lebih senang ia tinggal bersama kami, karena kami melihat keberkahan padanya. Aku katakan kepada ibunya, “Bagaimana kalau anakmu tetap tinggal bersama kami, hingga dia kuat, karena aku takut ia terkena wabah penyakit Makkah? Kami berada di Makkah hingga ibunya mengembalikannya kepada kami, kemudian kami pulang bersamanya.

E.     Pembedahan Dada Nabi Ketika Beliau Masih Kecil[3]
                Halimah As-Sa’diyyah berkata, “Demi Allah, sebulan setelah kedatangan kami, ia bersama saudaranya mengembala kambing milik kami di belakang rumah, tiba-tiba saudarnya datang kepada kami dengan berlari. Saudaranya berkata kepadaku dan kepada ayahnya, “Saudaraku dari Quraisy diambil dua orang berpakaian putih, kemudia keduanya membaringkannya, membelah perutnya dan mencambuknya.”
Aku dan ayahnya segera keluar mencarinya. Kami mendapatinya berdiri dengan wajah yang pucat. Kami tanyakan kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, anakku?
Muhammad menjawab, “Dua orang berpakaian putih datang kepadaku, kemudian keduanya membaringkanku, membelah perutku, dan mencari di dalam perutku sesuatu yang tidak aku ketahui”. Kemudian kami pulang kerumah kami, ayahnya berkata kepadaku, “ Hai Halimah, aku khawatir anak ini sakit! Oleh karena itu, antarkan anak ini kepada keluarganya sebelum sakitnya terlihat.”

F.     Halimah As-Sa’diyyah mengembalika Rasulullah SAW kepada Ibunya.

                Halimah As-Sa’diyyah berkata, “Kemudian kami mengendong Muhammad dan menyerahkannya kepada ibunya. Ibunya berkata, “Kenapa engkau mengantarkannya kepadaku, wahai ibu susuan, padahal sebelumnya engkau meminta ia tinggal denganmu?
Aku menjawab, “Ya, Allah telah membesarkan anakku, dan aku sudah menyelesaikan apa yang menjadi tugasku, dan aku takut karena banyak kejadia terjadi padanya, jadi aku kembalikan kepadamu seperti yang engkau inginkan”.
Ibunya berkata, “Ada apa dengan mu? Berkatalah dengan benar kepadaku. Ibunya tidak membiarkanku begitu saja melainkan aku harus bercerita kepadanya. Ibunya berkata, “Sesungguhnya anakku akan menjadi orang besar di kemudian hari, maukah engkau cerita perihal dia? Aku berkata, Ya, mau. Ibunya berkata, “ketika aku mengandungnya, aku melihat sinar keluar dari perutku kemudian karena sinar-sinar tersebut aku bisa melihat istana-istana Busra, daerah Syam menjadi bercahaya. Demi Allah, aku belum pernah melihat kandungan yang lebih ringan dan lebih mudah dari dia. Ketika aku melahirkannya, ia meletakkan tangannya di tanah dan kepalanya menghadap ke langit. Biarkan dia bersamamu, dan pulanglah dengan tenang.






G.    Rasulullah SAW bercerita tentang dirinya
               
                Ibnu Ishaq berkata, bahwa Tsaur bin Yazid berkata kepadaku dari sebagian orang berilmu dan aku kira dari Khalid bin Ma’dan dan Al-Kalaiyyu, bahwa beberapa sahabat berkata kepada Rasulullah SAW.[4]
                “Ceritakan kepada kami tentang dirimu, wahai Rasulullah SAW bersabda, “Ya, Aku adalah do’a ayahku Ibrahim dan berita gembira saudaraku Isa bin Maryam. Ketika ibuku menganmdungku, ia melihat sinar keluar dari perutnya dan karena sinar tersebut istana-istana Syam menjadi bercahaya. Aku disusui di Bani Sa’ad bin Bakr, ketika aku bersama saudaraku di belakang rumah sedang mengembala kambing, tiba-tiba dua orang berpakaian putih datang kepadaku dengan membawa baskom dari emas yang penuh berisi salju. Kedua orang tersebut mengambilku lalu membelah perutku, mengeluarkan hatiku, membelahnya, mengeluarkan gumpalan hitam dari hatiku dan membuangnya. Setelah itu, keduanya mencuci hatiku dan perutku dengan salju yang telah dibersihkan. Salah seorang dari keduanya berkata kepada sahabat satunya, “Timbanglah dia dengan sepuluh orang umatnya”. Dia menimbangku dengan sepuluh orang umatku, ternyata aku lebih berat daripada mereka.
Orang pertama berkata lagi, “Timbanglah dia dengan seribu orang dari umatnya”. Orang kedua menimbangku dengan seribu umatku, ternyata aku lebih berat daripada mereka”.
Orang pertama berkata, “biarkan dia. Demi Allah, seandainya engkau menimbangnya dengan seluruh umatnya, ia lebih berat daripada mereka”.

H.    Semua Nabi Mengembala Kambing

                Ibnu Ishaq berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مامنْ نبيٌ إالآوقدْرعىالْغنم. قيل: وأنْت يارسوْل الله؟ قل: وأنما

“Tidak ada satu Nabi pun melainkan ia mengembala kambing. “Ditanyakan kepada beliau, “Termasuk engkau, wahai Rasulullah? Rasulullah SAW bersabda, “Ya termasuk aku”.

                Ibnu Ishaq berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda kepada sahabat-sahabatnya,

أناأعْربكمْ, أناقرثيٌ واسْترْضعْت في نبي سعدبْن بكْر

Aku adalah orang yang paling fasih di antara kalian. Aku orang Quraisy dan aku disusui di Bani Sa’ad bin Bakr.”[5]



I.       Halimah As-Sa’diyyah Kehilangan Rasulullah SAW.

                Ibnu Ishaq berkata bahwa banyak orang mengatakan dan hanya Allah yang lebih tahu, ketika ibunda Rasulullah SAW, Halimah As-Sa’diyyah membawa Rasulullah SAW Ke Mekkah, beliau menghilang di kerumunan manusia pada saat akan dikembalikan kepada keluarganya. Halimah As-Sa’diyyah mencari-cari beliau, namun tidak berhasil menemukannya. Halimah As-Sa’diyyah segera menemui Abdul Muthalib dan berkata kepadanya, “Sungguh pada malam ini, aku datang dengan Muhammad, namun ketika aku berada di Mekkah Atas, ia menghilang dariku. Demi Allah, aku tidak tahu di mana dia berada.”
Kemudian Abdul Muthalib berdiri di samping Ka’bah dan berdo’a kepada Allah agar mengembalikan Muhammad kepadanya. Ada yang mengetakan Rasulullah SAW ditemukan Waraqah bin Naufal bin Asad dan seseorang dari Quraisy, kemudian keduanya membawa beliau kepada Abdul Muthalib. Keduanya berkata kepada Abdul Muthalib, “Inilah anakmu. Kami menemukannya di Mekkah Atas”. Abdul Muthalib mengambil Rasulullah SAW kemudian meletakkan beliau di pundaknya sambil Thawaf di Ka’bah.[6] Abdul Muthalib mengembalikan beliau kepada ibunya Aminah binti Wahb.

J.     Sebab lain Halimah As-Sa’diyyah Mengembalikan Rasulullah SAW.
               
                Ibnu Ishaq berkata bahwa sebagian orang berilmu berkata kepadaku, di antara sebab lain yang mendorong ibu Rasulullah SAW kepada ibu kandungnya disamping sebab yang telah dijelaskan Halimah As-Sa’diyyah kepada Aminah binti Wahb bahwa beberapa orang Nasrani dari Habasyiah melihat Rasulullah SAW bersama Halimah As-Sa’diyyah ketika ia mengembalikan beliau setelah disapih. Mereka memandangi Rasulullah SAW dengan seksama, bertanya Halimah As-Sa’diyyah tentang beliau, dan meninmang-nimand beliau. Mereka berkata, “Kami pasti merampas anak ini kemudian membawanya kepada raja di negeri kami, karena kelak anak ini akan menjadi orang besar, karena kami telah mengetahui seluk-beluk tentang dia.”
Orang yang berkata kepadaku mengatakan bahwa Halimah As-Sa’diyyah nyaris tidak bisa meloloskan diri dari mereka.





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri, Abu Muhammad, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam I,Jakarta : PT. Darul Falah, 2000.
Jauzi,Ibnul.,Al-Jwafa,Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad SAW,cet. 1,Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006.


[1]Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam I,(Jakarta : PT. Darul Falah,2000), h. 132
[2]Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri, Sirah Nabawiyah...h. 133.
[3]Ibnul Jauzi, Al-Jwafa,Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad SAW,cet. 1,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006), h. 87
[4]Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri,Sirah Nabawiyah...h. 135.
[5]Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri, Sirah Nabawiyah...h. 136
[6]Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri, Sirah Nabawiyah....h. 137