Kepercayaan, Nilai dan Norma dalam Komunikasi Antarbudaya
Persepsi adalah inti dari
komunikasi, sedangkan penafsiran
(interpretasi) adalah inti dari persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi.[1] Menurut Gamble,
persepsi adalah
proses seleksi, organisasi
dan interpretasi data yang memungkinkan seseorang memahami apa yang ada dan
terjadi di dunia.[2] mendefinisikan persepsi
sebagai
interpretasi bermakna
atas sensasi sebagai representasi objek eksternal; persepsi adalah
pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di dunia.[3]
Mekanisme persepsi pada setiap orang
hampir sama; sensor panca indera mampu menangkap rangsangan lingkungan, rangsangan yang diterima akan diteruskan melalui sistem saraf
menuju otak untuk diinterpretasi dan dimaknai
dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah pengenalan dan identifikasi; tahap dua
merupakan interpretasi
dan
evaluasi terhadap rangsangan yang telah
diidentifikasi. Hasil dari proses tersebut pada setiap orang
tidak selalu sama, karena proses ini merupakan sesuatu yang dipelajari dan karenanya
dipengaruhi oleh pengalaman
seseorang pada masa lalu.
Persepsi disebut sebagai inti dari komunikasi, karena jika persepsi
seseorang tidak akurat, tidak mungkin
akan mampu berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang
nantinya akan menentukan seseorang
memilih suatu pesan dan
mengabaikan pesan lainnya. Hal ini memberikan pemahaman, bahwa semakin
tinggi derajat kesamaan persepsi individu satu dengan individulain, maka
akan semakin mudah
dan
semakin sering mereka melakukan komunikasi, dan
konsekuensinya semakin cenderung
membentuk kelompok budaya atau kelompok
identitas.
Lustig
dan
Koester (2003) menjabarkan budaya ke dalam tiga macam
pola, yaitu kepercayaan, nilai dan
norma. Kepercayaan
merupakan ide-ide yang
berkaitan dengan situasi dunia yang diasumsikan sebagai sebuah kebenaran oleh manusia. Karena itu,
kepercayaan merupakan sekumpulan interpretasi yang
dipelajari dan membentuk dasar budaya, sehingga setiap anggota
dapat memutuskan apa yang logis dan apa yang
benar dan tidak benar. Dalam budaya, nilai-nilai menganut tentang apa yang baik dan buruk, adil dan tidak adil, wajar dan tidak wajar, indah dan tidak indah, sesuai dan tidak sesuai, serta baik dan jahat.
Karena nilai adalah karakteristik atau tujuan sebuah budaya yang diinginkan, nilai budaya tidak menggambarkan tingkah
laku dan karakteristik
aktual. Namun
demikian, nilai
seringkali
menawarkan penjelasan atas cara manusia berkomunikasi. Manifestasi dari kepercayaan dan nilai, oleh Lustig dan
Koester disebut sebagai norma. Secara
umum norma menekankan pada ekspektasi dari tindakan yang sesuai. Norma ada
karena sangat beragamnya tingkah laku
manusia, termasuk
rutinitas sosial.[4]
Komunikasi antarbudaya dalam pandangan DeVito
(2001) merupakan komunikasi yang secara budaya memiliki perbedaan kepercayaan, nilai dan cara bertindak. Semua pesan berawal dari konteks budaya yang
unik dan spesifik, dan konteks
tersebut akan mempengaruhi isi dan bentuk komunikasi. DeVito
juga menyatakan, bahwa budaya akan mempengaruhi
setiap
aspek
pengalaman manusia dalam berkomunikasi. Seseorang melakukan komunikasi dengan cara- cara seperti yang
dilakukan oleh budayanya.[5] Hal inilah yang
disebut oleh Lustig
dan
Koester (2003) sebagai sebuah mindset yang secara tidak sadar akan menuntun seseorang ketika menilai suatu situasi ataupun mempersepsi suatu keadaan. Seseorang juga akan menerima pesan yang telah disaring oleh konteks budayanya. Konteks tersebut akan mempengaruhi apa yang akan diterima dan
bagaimana menerimanya.[6]
Budaya merujuk pada kepercayaan akan
supremasi keberadaan,
sikap terhadap kesuksesan dan kebahagiaan, dan nilai-nilai yang
ditanamkan dalam persahabatan, hubungan cinta, keluarga atau uang.
Sejalan dengan pemikiran DeVito, Rogers dan Steinfatt (1999)
menyatakan, bahwa
budaya memberikan pengaruh besar
pada perilaku individu, termasuk didalamnya perilaku
berkomunikasi. Karena informasi yang
diperoleh seseorang dan pengetahuan
seseorang
tentang dunia fisik dan sosial
diperoleh melalui
proses perceptual,
persepsi merupakan hal
pokok dalam studi komunikasi antarbudaya.[7]
Ketika melakukan komunikasi, fungsi pola
budaya (kepercayaan, nilai dan
norma) dapat diterapkan oleh semua
budaya. Kluckhon dan Strodtbeck (dalam
Lustig & Koester, 2003) mengklasifikasikan alasan-alasan perlunya menerapkan pola budaya. Pertama,
setiap manusia dari budaya yang berbeda
menghadapi masalah yang umumnya sama dan mereka
harus menemukan penyelesaiannya. Kedua,
jumlah pilihan untuk menyelesaikan
problematika budaya sangat terbatas. Ketiga, di dalam satu budaya,
solusi permasalahan yang tersedia akan dipilih yang
sesuai dengan budaya tersebut tetapi anggotanya bisa
jadi akan lebih memilih solusi yang
lain. Dan keempat, seiring berjalannya waktu,
solusi yang
telah
dipilih akan membentuk asumsi-asumsi budaya yang berhubungan dengan
kepercayaan, nilai
dan norma.[8]
Brian H.
Spitzberg mengungkapkan, komunikasi dalam konteks
antarbudaya
dikatakan berhasil
jika
tujuan komunikator tercapai dan cara yang
digunakan sesuai dengan konteks. Konteks
yang
dimaksud meliputi budaya, hubungan, tempat dan fungsi. Budaya
merupakan aspek penting dalam memanfaatkan dan mengevaluasi perilaku.
Kemampuan perilaku juga tergantung
pada bentuk hubungan antara orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Apa yang
sesuai dilakukan dalam hubungan dengan
pasangan tidak
selalu berlaku
dalam
hubungan pertemanan
atau
hubungan kerja.[9]
Perilaku merupakan suatu bentuk
reaksi terhadap persepsi seseorang
mengenai kondisi
di sekitarnya. Perilaku
(behavior) merupakan
hasil dari
mempelajari dan kondisi budaya. Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang dimiliki oleh masing-masing
budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara berkomunikasi. Dengan memahami perbedaan
kepercayaan, nilai dan norma budayalain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi
tersebut.[10]
KESIMPULAN
Norma
budaya
merupakan kaidah-kaidah sebagai aturan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dalam kehidupan sosial, sedangkan nilai
budaya
merupakan aturan
atau
norma
yang
dilaksanakan secara turun-temurun dan
menjadi sebuah ideologi yang
berisikan kepercayaan dan keyakinan suatu
masyarakat sosial
tertentu yang
termasuk di
dalamnya suatu komunitas tertentu. Hal ini berarti
bahwa
penemuan ideologi suatu komunitas dapat dilakukan berdasarkan norma
dan nilai.
Oleh
karena
itu, penentuan ideologi sangat erat kaitannya dengan
visi sebuah
wacana.
Visi
sebuah
wacana
berisikan beberapa lapisan, yaitu
lapisan pertama adalah
penentuan makna;
lapisan kedua
adalah penentuan nilai; dan lapisan
ketiga
adalah
penentuan ideologi.
Penyigian norma
budaya
suatu
masyarakat atau komunitas dapat
dilihat dari penggunaan aspek-aspek gramatika
suatu
bahasa,
aspek
leksikon suatu
bahasa,
dan linguistik rutinitas
suatu bahasa
yang berhubungan langsung dengan
konteks
situasi (context-bound). Penggunaan
aspek-aspek
ini menentukan cara pertuturan masyarakat atau komunitas. Cara pertuturan semacam
ini
disimpan dalam
praktik-praktik keseharian mereka yang pada akhimya disepakati secara kolektif sehingga menjelma menjadi aturan yang disebut
dengan norma
budaya. Selanjutnya, norma budaya
yang dipegang teguh dan
ditaati
oleh
masyarakat atau menjelma menjadi suatu ideologi yang dipercayai dan dianggap sebagai pengatur
setiap
kegiatan
yang
dilaksanakan oleh masyarakat atau komunitas yang
hidup di dalam masyarakat
social
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1.
DeVito, Joseph A. The Interpersonal Communication Book (Ninth Edition). New York:
Addison Wesley Longman, Inc.,
2001.
2.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu
Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
3.
Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter. Intercultural Communication (Ninth
Edition). USA: Wadsworth
Publishing Company, 2000.
4.
Lustig, Myron, dan Jolene Koester. Intercultural Competence, Interpersonal
Communication Across Cultures (Fourth Edition). USA: Allyn &
Bacon
Pub., 2003.
[1] Mulyana,
Deddy.
Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003). h 167
[2] Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter. Intercultural
Communication (Ninth
Edition). (USA: Wadsworth
Publishing Company, 2000). h 57
[3] Mulyana,
Deddy.
Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003). h 167
[4] Lustig, Myron, dan Jolene
Koester. Intercultural Competence, Interpersonal
Communication Across Cultures (Fourth Edition). (USA: Allyn &
Bacon
Pub., 2003). h 84.
[5] DeVito, Joseph A. The Interpersonal
Communication Book (Ninth Edition).(New York:
Addison Wesley Longman, Inc.,
2001). h 53
[6] Lustig, Myron, dan Jolene Koester. Intercultural Competence, Interpersonal
Communication Across Cultures (Fourth Edition). (USA: Allyn &
Bacon
Pub., 2003). h 84.
[7] DeVito, Joseph A. The Interpersonal
Communication Book (Ninth Edition).(New York:
Addison Wesley Longman, Inc.,
2001). h 79
[8] Lustig, Myron, dan Jolene
Koester. Intercultural Competence, Interpersonal
Communication Across Cultures (Fourth Edition).(USA:
Allyn & Bacon Pub.,
2003). h 91
[9] Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter. Intercultural
Communication (Ninth
Edition). (USA: Wadsworth
Publishing Company, 2000). h 375
[10] Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter. Intercultural
Communication (Ninth
Edition). (USA: Wadsworth
Publishing Company, 2000).h 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar