PERLUNYA ETIKA KOMUNIKASI
Etika
komunikasi diperlukan untuk membantu menjernihkan pertimbangan agar bisa mengambil
keputusan yang tepat sehingga menjadi sarana yang efektif dalam pendidikan.
Selain itu juga mampu membuka peluang untuk bisa memperbaiki nasib seseorang
atau kelompok. Seseorang yang memiliki akses informasi akan memudahkannya untuk
mendapatkan kekuasaan atau mempertahankannya. Informasi yang benar menghidarkan
salah paham dan menjadi sarana penting untuk menciptakan perdamaian.
Media
digunakan untuk menyampaikan dan menciptakan informasi. Walaupun kebenarannya
tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi,
atau budaya yang pada akhirnya hak public akan informasi yang dirugikan. Bahkan
pertimbangan pendidikan, pencerahan, analisis kritis, dan hiburan yang sehat
diabaikan demi keuntungan semata yang diakibatkan oleh kuatnya tuntutan pasar sehingga
merubah sistem media(organisasi komunikasi public).
1. Informasi
sebagai komoditi dan mimetisme.
Untuk
mendapatkan perhatian penuh, diantara media sendiri terjadi persaingan. Seperti logika simulasi (j. baudillard),
orang tidak akan pernah sapai pada kebenaran karena antara realitas,
representasi, hiperrialitas atau tipuan tidak bisa dicek dan dibedakan lagi.
Pesaingan menghalalkan segala cara.
Di
satu sisi, persaingan itu mendorong kreativitas; di sisi lain, persaingan itu
juga diikuti oleh semacam mimetisme. Mimetisme
adalah gairah yang tiba-tiba menghingggapi media dan mendorongnya, sepertinya
sangat urgen bergas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang
menjadi acuan, menganggapnya penting. Jadi, media saling membangkitkan
keingintahuan di kalangan mereka sendiri, menaikkan penawaran dan membiarkan
diri dibawa oleh hasrat untuk memberi informasi yang serba lebih, tetapi karena
tekanan persaingan, mereka dilontarkan sampai pada tingkat yang mengerikan,
bahkan sampai dengan cara yang licik.
2. Media
mengubah integrasi social, reproduksi budaya, dam partisipasi politik.
Media
menyebarkan keseluruh tubuh social tidak hanya ide pembebasan, tetapi juga
nilai-nilai hedonis sehingga akhirnya mempengaruhi integrasi social. Integrasi
social menghadapi kendala dalam bentuk individualisme narcisik.
Dalam
reproduksi budaya(produksi budaya), tekanannya harus selalu bergerak, selalu
berubah bukan untuk suatu tujuan utopias tertentu, tetapi karena diarahkan oleh
efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup (G. Lipovetsky, 2004: 79). Kultus
teknologi mengalahkan tujuan dan idealism. Maka, dalam media, teknik presentasi
sering mengalahkan isi berita atau pesan yang mau disampaikan. Rasionalisme
instrumental sangat mewarnai media massa.
Mc Luhan mengatakan bahwa pesan yang
sebenarnya bukan isi yang mengungkapkan suara dan gambar, tetapi skema yang
dikaitkan dengan esensi teknikmedia itu sendiri yang berupa transisi normal dan
diprogram berdasar pada abstraksi.
Maksudnya, isi wacana iklan langsung yang mendorong konsumsi. Iklan
menjadi efektif karena memaksa melalui trnsisi sistematis, berita sehari-hari,
peritiwa dengan tontonan, informasi dan iklan.
Dalam iklan, fungsi komunikasi massa
iklan bukan berasal dari isinya, bukan tujuan ekonomi atau psikologi, bukan
public, tetapi dari logika medium itu sendiri.
3. Dilemma
media massa
Idealism
media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa atau
pendengar semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir;
disisi lain, pragmatisme ekonokmi memaksa media mengadopsi logika mode yang
terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang
beragam.
4. Pentingnya
pencitraan
Media
mampu menyebarkan ke seluruh tubuh social nilai pembebasan dan kesetaraan
sehingga lebih banyak orang yang menyadari; dilain pihak media juga gencar
menyebarkan dan menawarkan nilai hedonis. mempengaruhi dan membentuk citra
bergeser menjadi obsesi media. Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran
sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi,
kepalsuan, dan hiperrealitas (J. baudrillard, 1981: 17).
J. baudrillard menjelaskan empat
fase citra:
a) representasi
dimana citra merupakan cermin suatu realitas
b) ideology
dimana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas
c) citra
menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra bermain menjadi
penampakannya.
d) Citra
tidak ada hubugan sama sekali dengan realitas apapun: ia hanya menjadi yang
menyerupai dirinya.
- Tiada perlawanan terorganisir dan bentuk baru sensor
Media
sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan
dan inisiatif, tetapi media justru semakin membuat pembaca atau audiens
tergantung dan konplusif. Sehingga sulit untuk membentuk pikiran kritis dan
penilaian yang refleksif. Dalam bayang-bayang pragmatisme ekonomi, logika
komersial membuat refleksi diabaikan demi emosi, teori ditinggal demi
penggunaan praktis yang mana keduanya mengandalkan argumentasi sehingga membuat
tulisan menjadi lebih panjang atau pogram siaran membosankan.
Dewasa
ini sensor tidak lagi tampak dalam bentuk primer karena bukan lagi masalah
menghilangkan, memotong, melarang sejumlah aspek fakta atau menyembunyikannya.
Dalam masyarakat demokratis, penguasa tidak lagi melarang wartawan memberitakan
sesuatu. Tidak ada larangan atau pembatasan terhadap Koran. Sensor bersembunyi
dalam aspek ekonomi atau komersial.
- Tiga syarat kemungkinan etika komunikasi
Ada
tiga alasan penerapan etika komunikasi semakin mendesak:
- Media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap public. Padahal media mudah memanipulasi dan menganilienasi audiens. Dengan demikian etika komunikasi mau melindungi public yang lemah.
- Etika komunikasi merupakan upaya untuk mejnjaga keseimbangan antara kebebasan berekpresi dan tanggung jawab.
- Mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negative dari logika instrumental yang mana logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting mempertahankan kredibilitas pers di depan public.
(SUMBER:HARYATMOKO )