Kamis, 19 Desember 2013

MAKALAH EPISTIMOLOGI KOMUNIKASI SEBAGAI DISIPLIN BERFIKIR MENGASILKAN TEORI (ILMU) KOMUNIKASI.



EPISTIMOLOGI KOMUNIKASI SEBAGAI DISIPLIN BERFIKIR MENGASILKAN TEORI (ILMU) KOMUNIKASI.
Komunikasi
            Komunikasi adalah proses penyampaian pesan (informasi/message) dari komunikator/sumber kepada komunikan.penerima melalui media tertentu untuk menghasilkan efek/tujuan tertentu dengan mengharapkan feedback/umpan balik.
nsur-unsur komunikasi
1.   Penyampai pesan/komunikator/sumber/Source
2.  Pesan/Message                                                     
3.  Penerima pesan/Receiver
4.  Media/Channel
5.  Efek/tujuan/Destination
6.  Umpan balik/Feedback
7.  Gangguan/Noise

JENIS KOMUNIKASI
1.   Kom. Intrapersonal
2.  Kom. Interpersonal/Antarpersonal
3.  Kom. Kelompok
4.  Kom. Organisasi
5.  Kom. Massa
            Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge).  
            Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan lebih fundamental lagi  bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan, tepat apabila dihubungkan dengan metodologi.
            Metode; adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematik dan logis.        
Pada dasarnya metode ilmiah dilandasi :       
- Kerangka pemikiran yang logis;      
- Penjabaran hipotesis yang merupakan deduksi dan kerangka pemikiran;   
- Verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenarannya secara faktual.

            Jujun S Suriasumantri, mengemukakan akronim metode ilmiah yang dikenal sebagai logicohypotetico verifikasi, kerangka pemikiran yang logis mengandung argumentasi yang dalam menjabarkan penjelasannya mengenai suatu gejala bersifat rasional.
Lanigan, mengatakan bahwa dalam prosesnya yang progresif dari kognisi menuju afeksi yang selanjutnya menuju konasi, epistemology berpijak pada salah satu atau lebih teori kebenaran.

Dikenal empat teori kebenaran, sebagai berikut :      
1) Teori koherensi; suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
2) Teori korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jikalau materi yang terkena oleh persyaratan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu.
3) Teori pragmatik; suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
            Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
            Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.[1]
b. Rasionalisme
            Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja. [2]
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
            Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
            Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
            Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dialektis
            Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub
Paradigma Pendekatan Komunikasi:
Penelitian komunikasi dapat dilakukan  dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan  tunggal   yang   berbeda  karaktersitiknya, yaitu  pendekatan  kuantitatif (objectivist) dan  pendekatan kualitatif  (subjectivist). Secara umum  dapat dipahami bahwa penelitian komunikasi dengan  pendekatan  objectivist  berhubungan dengan pengujian  hipotesis  dan   data   yang   dikuantifikasikan  melalui  penggunaan  teknik- teknik   pengukuran  yang   obyektif   dan   analisis  statistik.    Sedangkan  penelitian komunikasi dengan  pendekatan  subjectivist  memiliki  keterkaitan dengan  analisis data  visual dan data  verbal yang merupakan cerminan dari pengalaman sehari-hari.
Perbedaaan   antara  penelitian  komunikasi objectivist  dengan  subjectivist ditandai oleh  adanya paradigma sebagai pijakan  filosofis yang  memandu peneliti dalam   menjalankan aktivitas  penelitiannya. Paradigma  dimengerti sebagai  sistem keyakinan dasar (basic  belief  system)  yang  dicirikan  oleh  asumsi-asumsi ontologi, epistemologi,   aksiologi    dan    metodologi.   Asumsi    ontologi    berkaitan   dengan pertanyaan-pertanyaan    tentang    sifat    realitas    (being),    asumsi   epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan tentang relasi  antara peneliti dengan fenomena yang    diteliti   (knowing),   asumsi   aksiologi    berhubungan  dengan   pertanyaan- pertanyaan   mengenai   peran   nilai   (value)    dan    asumsi   metodologi  mengkaji pertanyaan-pertanyaan tentang proses penelitian.

TABEL 5
KARAKTERISTIK PENDEKATAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Asumsi
Pertanyaan
Kuantitatif
Kualitatif
Ontologi
Sifat realitas
Bersifat  obyektif dan tunggal, terpisah dari penelitinya.
Bersifat  subyektif  dan banyak,
seperti yang dipahami setiap orang.
Epistemologi
Hubungan peneliti

dengan realitas
Bersikap independen terhadap realitas yang diteliti.
Berinteraksi dengan realitas yang diteliti.
Aksiologi
Peran nilai
Bebas nilai dan tidak bias.
Sarat nilai dan bias.
Retorika
Bahasa penelitian
Formal,  berdasarkan pada seperangkat definisi.
Informal dan bersifat personal.
Metodologi
Proses penelitian
Deduktif, sebab-akibat, disain
statis, bebas konteks, generalisasi.
Induktif, simultan, disain
muncul,  terikat konteks, teori- teori dikembangkan untuk menciptakan pemahaman.
Sumber: John  W. Cresswell, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, 1994:  5.

Paradigma   merupakan   konstruksi  manusia   (human   construction),    yaitu gagasan  yang   merepresentasikan  beragam  cara   yang   dilakukan   peneliti   untuk memahami dunia” (realitas). Sebagai konstruksi manusia, paradigma tidak dipahami dalam  lingkup benar atau  salah. Paradigma adalah “cara  melihat (way of looking) realitas, sehingga perlu dimengerti dalam  konteks kegunaannya. Melalui paradigma, peneliti bisa menetapkan pijakan  teori dan metoda penelitian yang digunakan.
Dalam konteks pertimbangan epistemologi (pertanyaan-pertanyaan mengenai penciptaan  dan   perkembangan  pengetahuan),  Miller  (2005:   28-29)   menjelaskan posisi  antara Objectivist  dan  Subjectivist  dalam   epistemologi yang  meliputi  jenis pengetahuan yang  diperoleh melalui  teori,  komitmen  metodologi dalam  pencarian pengetahuan dan tujuan pengetahuan untuk pengembangan teori.
Sebagai   catatan   pelengkap  guna    memahami   relasi    antara  paradigma penelitian dengan pemikiran  teoritik tentang komunikasi, ada  gagasan menarik  yang dikemukakan  oleh  James  Anderson, akademisi komunikasi dari Universitas Utah (dalam  Griffin, 2006: 517-518). Anderson melakukan klasifikasi teori-teori komunikasi berdasarkan perspektif Objective dan Interpretive.

Dalam    pandangan   Anderson,  para    teoritisi   Objective   meyakini    adanya kesatuan dalam  ilmu (unity of science). Mereka  memahami fisika, biologi, psikologi dan   komunikasi hanyalah  sebagai  “jendela-jendela”  yang   berbeda untuk  melihat realitas fisik yang  bersifat   tunggal.   Sedangkan para   teoritisi  Interpretive  meyakini adanya ranah (domain)  yang  beragam. Mereka   tidak  meragukan adanya realitas material. Tidak ada  yang  obyektif tentang tanda-tanda (signs) dan maknanya. Ranah sosial  terpisah dari bidang  material.

            Teoritisi Objective memahami realitas yang  tunggal,  independen dan  otonom. Sebaliknya, teoritisi  Interpretive  mengasumsikan  bahwa realitas sosial  merupakan sebuah status yang  diberikan. Interpretasi adalah sebuah pencapaian manusia yang menciptakan data.  Teks tidak pernah menginterpretasikan dirinya sendiri.

TEORI-TEORI KOMUNIKASI MASSA
1.      Hypodermic Needly Theory(Jason dan Anne Hill, 1997)
            Teori yang mengasumsikan bahwa para pengelola media dianggap lebih pintar dibandingkan audience. Akibatnya, audience dapat dikelabui dengan sedemikian rupa dari apa yang disiarkannya. Teori ini mengasumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa audience bisa ditundukkan atau bisa dibentuk dengan cara apapun yang dkehendaki oleh media. (jarum hipodermik).

2.      Cultivation Theory (Prof. George Gerbner)
            Teori yang memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience yang mana televisi menjadi media atau alat utama dimana persepsi yang akan terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat di tentukan oleh televisi.
3.      Oval: Media barat (modal kuat tekhnologi canggih)
Budaya barat
(ide, perilaku, hasil kegiatan)
 
Cultural Imperialism Theory (Herb Schiller, 1973)

















Budaya timur (menjadi “barat”, budaya asli hilang
 


Oval: Media timur





 






4.      Media Equation Theory (Byron Reeves dan Clifford)
Teori yang mengasumsi bahwa media diibaratkan manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga dapat diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam keadaan face to face. Misalnya, kita berbicara (meminta pengolahan data) dengan computer seolah-olah computer itu manusia. Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi. Bahkan kita berperilaku secara tidak sadar seolah-olah media itu adalah manusia.
5.       Spiral Of Silence Theory/spiral keheningan (Elizabet Noelle-Neumann)
Teori yang menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Yang mana alasannya agar diterima dalam kelompok mayoritas,
6.      Tecnological Determinisme Theory (Marshall McLuhan, 1962)
Teknologi yang membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat, dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain.
7.      Diffusion of innovation theory (Roger dan Shoemaker, 1971)
Teori yang mana adanya inovasi(penemuan), lalu disebarkan (difusi) melalui media massa akan kuat memengaruhi massa untuk mengikutinya. peran pemimpin opini dalam memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Artinya, media massa mempunyai pengaruh yang kuat dalam menyebarkan penemuan baru.
8.      Uses and Gratifications Theory (Herbert Blumer dan Elihu Katz, 1974)
Pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya, teori uses and gratifications mengasumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan alternative untuk memuaskan kebutuhannya.
9.      Agenda Setting Theory (Max McCombs dan Shaw, (1973)
Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan media tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita pikir, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Media massa mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan. Media memberikan agenda-agenda melalui pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya.menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung (apa yang diberitakan oleh media, maka pembicaraan masyarakat juga sama seperti yang diagendakan media.[3]

DAFTAR PUSTAKA
1.      Cresswell,   John   W.  Research  Design,   Qualitative   &   Quantitative   Approaches, Thousand Oaks,  California, Sage Publications, Inc., 1994.
2.      Griffin,  Em.   A  First  Look  At Communication  Theory,  Sixth  Edition,  New  York, McGraw-Hill, 2006.
3.      Miller, Katherine. Communication  Theories, Perspective, Processes, and  Contexts, Second  Edition, New York, The McGraw-Hill Companies, Inc., 2005.
4.      Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007



[1] Dani Vardiansyah,filsafat suatu ilmu komunikasi,(Jakarta: PT INDEKS, 2008).  h 53
[2] Dani Vardiansyah,filsafat suatu ilmu komunikasi,(Jakarta: PT INDEKS, 2008).  h 51
[3] Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) h. 165-199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar