Kamis, 19 Desember 2013

MAKALAH TENTANG Kepercayaan, Nilai dan Norma dalam Komunikasi Antarbudaya



Kepercayaan, Nilai dan Norma dalam Komunikasi Antarbudaya

Persepsi adalah inti dari komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti dari persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses   komunikasi.[1]   Menurut Gamble, persepsi adalah proses seleksi, organisasi dan interpretasi data yang memungkinkan seseorang memahami apa yang ada dan terjadi di dunia.[2] mendefinisikan persepsi sebagai interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representasi objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di dunia.[3]
Mekanisme persepsi pada setiap orang hampir sama; sensor panca indera mampu menangkap rangsangan lingkungan, rangsangan yang diterima akan diteruskan melalui sistem saraf menuju otak untuk diinterpretasi dan dimaknai dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah pengenalan dan identifikasi; tahap dua merupakan interpretasi dan evaluasi terhadap rangsangan yang telah diidentifikasi. Hasil dari proses tersebut pada setiap orang tidak selalu sama, karena proses ini merupakan sesuatu yang dipelajari dan karenanya dipengaruhi oleh pengalaman seseorang pada masa lalu.
Persepsi disebut sebagai inti dari komunikasi, karena jika persepsi seseorang tidak akurat, tidak mungkin akan mampu berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang nantinya akan menentukan seseorang memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan lainnya. Hal ini memberikan pemahaman, bahwa semakin tinggi derajat kesamaan persepsi individu satu dengan individulain, maka akan semakin mudah dan semakin sering mereka melakukan komunikasi, dan konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas.
Lustig dan Koester (2003) menjabarkan budaya ke dalam tiga macam pola, yaitu kepercayaan, nilai dan norma. Kepercayaan merupakan ide-ide yang berkaitan dengan situasi dunia yang diasumsikan sebagai sebuah kebenaran oleh manusia. Karena itu, kepercayaan merupakan sekumpulan interpretasi yang dipelajari dan membentuk dasar budaya, sehingga setiap anggota dapat memutuskan apa yang logis dan apa yang benar dan tidak benar. Dalam budaya, nilai-nilai menganut tentang apa yang baik dan buruk, adil dan tidak adil, wajar dan tidak wajar, indah dan tidak indah, sesuai dan tidak sesuai, serta baik dan jahat.   Karena   nilai   adalah   karakteristik   atau   tujuan   sebuah   budaya   yang diinginkan, nilai budaya tidak menggambarkan tingkah laku dan karakteristik aktual.  Namun  demikian,  nilai  seringkali  menawarkan  penjelasan  atas  cara manusia berkomunikasi. Manifestasi dari kepercayaan dan nilai, oleh Lustig dan Koester disebut sebagai norma. Secara umum norma menekankan pada ekspektasi dari tindakan yang sesuai. Norma ada karena sangat beragamnya tingkah laku manusia, termasuk rutinitas sosial.[4]
Komunikasi antarbudaya dalam pandangan DeVito (2001) merupakan komunikasi yang secara budaya memiliki perbedaan kepercayaan, nilai dan cara bertindak. Semua pesan berawal dari konteks budaya yang unik dan spesifik, dan konteks tersebut akan mempengaruhi isi dan bentuk komunikasi. DeVito juga menyatakan,  bahwa  budaya  akan  mempengaruhi  setiap  aspek  pengalaman manusia dalam berkomunikasi. Seseorang melakukan komunikasi dengan cara- cara seperti yang dilakukan oleh budayanya.[5] Hal inilah yang disebut oleh Lustig dan Koester (2003) sebagai sebuah mindset yang secara tidak sadar akan menuntun seseorang ketika menilai suatu situasi ataupun mempersepsi suatu keadaan. Seseorang juga akan menerima pesan yang telah disaring oleh konteks budayanya. Konteks tersebut akan mempengaruhi apa yang akan diterima dan bagaimana menerimanya.[6]
Budaya merujuk pada kepercayaan akan supremasi keberadaan, sikap terhadap kesuksesan dan kebahagiaan, dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam persahabatan, hubungan cinta, keluarga atau uang. Sejalan dengan pemikiran DeVito, Rogers dan Steinfatt (1999) menyatakan, bahwa budaya memberikan pengaruh besar pada perilaku individu, termasuk didalamnya perilaku berkomunikasi. Karena informasi yang diperoleh seseorang dan pengetahuan seseorang tentang dunia fisik dan sosial diperoleh melalui proses perceptual, persepsi merupakan hal pokok dalam studi komunikasi antarbudaya.[7]
Ketika melakukan komunikasi, fungsi pola budaya (kepercayaan, nilai dan norma) dapat diterapkan oleh semua budaya. Kluckhon dan Strodtbeck (dalam Lustig & Koester, 2003) mengklasifikasikan alasan-alasan perlunya menerapkan pola budaya. Pertama, setiap manusia dari budaya  yang berbeda menghadapi  masalah  yang  umumnya  sama  dan  mereka  harus  menemukan penyelesaiannya.  Kedua,  jumlah  pilihan  untuk  menyelesaikan  problematika budaya sangat terbatas. Ketiga, di dalam satu budaya, solusi permasalahan yang tersedia akan dipilih yang sesuai dengan budaya tersebut tetapi anggotanya bisa jadi akan lebih memilih solusi yang lain. Dan keempat, seiring berjalannya waktu, solusi yang telah dipilih akan membentuk asumsi-asumsi budaya yang berhubungan dengan kepercayaan, nilai dan norma.[8]
Brian H. Spitzberg mengungkapkan, komunikasi   dalam   konteks   antarbudaya   dikatakan   berhasil   jika   tujuan komunikator tercapai dan cara yang digunakan sesuai dengan konteks. Konteks yang   dimaksud   meliputi   budaya,   hubungan,   tempat   dan   fungsi.   Budaya merupakan aspek penting dalam memanfaatkan dan mengevaluasi perilaku. Kemampuan perilaku juga tergantung pada bentuk hubungan antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Apa yang sesuai dilakukan dalam hubungan dengan pasangan tidak selalu berlaku dalam hubungan pertemanan atau hubungan kerja.[9]
Perilaku merupakan suatu bentuk reaksi terhadap persepsi seseorang mengenai kondisi di sekitarnya. Perilaku (behavior) merupakan hasil dari mempelajari dan kondisi budaya. Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang dimiliki oleh masing-masing budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara berkomunikasi. Dengan memahami perbedaan kepercayaan, nilai dan norma budayalain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi tersebut.[10]
KESIMPULAN
Norma  budaya  merupakan   kaidah-kaidah sebagai   aturan  dalam  menjalankan    kehidupan   bermasyarakat     dalam  kehidupan    sosial, sedangkan     nilai   budaya    merupakan     aturan    atau   norma    yang   dilaksanakan      secara turun-temurun       dan    menjadi     sebuah     ideologi     yang    berisikan     kepercayaan      dan keyakinan      suatu    masyarakat      sosial    tertentu     yang    termasuk     di   dalamnya     suatu komunitas    tertentu.   Hal  ini  berarti   bahwa   penemuan    ideologi   suatu  komunitas    dapat dilakukan    berdasarkan    norma   dan  nilai.   Oleh   karena   itu,  penentuan    ideologi   sangat erat  kaitannya    dengan   visi  sebuah   wacana.   Visi   sebuah   wacana   berisikan    beberapa lapisan,    yaitu    lapisan    pertama     adalah    penentuan     makna;     lapisan    kedua    adalah penentuan    nilai;  dan  lapisan  ketiga  adalah  penentuan    ideologi.
            Penyigian    norma   budaya   suatu   masyarakat    atau  komunitas    dapat   dilihat   dari penggunaan     aspek-aspek     gramatika    suatu   bahasa,   aspek   leksikon    suatu   bahasa,   dan linguistik    rutinitas   suatu  bahasa   yang  berhubungan     langsung   dengan   konteks   situasi (context-bound).  Penggunaan  aspek-aspek  ini menentukan  cara pertuturan  masyarakat atau   komunitas.    Cara   pertuturan    semacam   ini   disimpan   dalam   praktik-praktik keseharian  mereka yang pada akhimya  disepakati  secara kolektif  sehingga  menjelma menjadi  aturan yang disebut  dengan norma budaya.  Selanjutnya,  norma budaya yang dipegang    teguh    dan   ditaati   oleh   masyarakat    atau menjelma menjadi suatu ideologi yang dipercayai dan dianggap  sebagai  pengatur  setiap  kegiatan  yang dilaksanakan oleh masyarakat atau komunitas  yang hidup di dalam masyarakat  social tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1.               DeVito, Joseph A. The Interpersonal Communication Book (Ninth Edition). New York: Addison Wesley Longman, Inc., 2001.
2.               Mulyana,   Deddy.   Ilmu   Komunikasi   Suatu   Pengantar.   Bandung:   Remaja Rosdakarya, 2003.
3.               Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter. Intercultural Communication (Ninth Edition). USA: Wadsworth Publishing Company, 2000.
4.               Lustig, Myron, dan Jolene Koester. Intercultural Competence, Interpersonal Communication Across Cultures (Fourth Edition). USA: Allyn & Bacon Pub., 2003.



[1] Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung:   Remaja Rosdakarya, 2003). h 167
[2] Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter. Intercultural Communication (Ninth Edition). (USA: Wadsworth Publishing Company, 2000). h 57
[3] Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung:   Remaja Rosdakarya, 2003). h 167
[4] Lustig, Myron, dan Jolene Koester. Intercultural Competence, Interpersonal Communication Across Cultures (Fourth Edition). (USA: Allyn & Bacon Pub., 2003). h 84.
[5] DeVito, Joseph A. The Interpersonal Communication Book (Ninth Edition).(New York: Addison Wesley Longman, Inc., 2001). h 53
[6] Lustig, Myron, dan Jolene Koester. Intercultural Competence, Interpersonal Communication Across Cultures (Fourth Edition). (USA: Allyn & Bacon Pub., 2003). h 84.
[7] DeVito, Joseph A. The Interpersonal Communication Book (Ninth Edition).(New York: Addison Wesley Longman, Inc., 2001). h 79
[8] Lustig, Myron, dan Jolene Koester. Intercultural Competence, Interpersonal Communication Across Cultures (Fourth Edition).(USA: Allyn & Bacon Pub., 2003). h 91
[9] Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter. Intercultural Communication (Ninth Edition). (USA: Wadsworth Publishing Company, 2000). h 375

[10] Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter. Intercultural Communication (Ninth Edition). (USA: Wadsworth Publishing Company, 2000).h 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar